Museum Nasional Jadi Pusat Studi Warisan Budaya

Museum Nasional Jadi Pusat Studi Warisan Budaya

Kamis, 18 November 2010, 17:49 WIB

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Museum Nasional, sebagai lembaga resmi pemerintah di bawah Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, menjadi pusat penelitian dan studi warisan budaya bangsa Indonesia. "Museum Nasional adalah sebagai pusat informasi budaya dan pariwisata yang mampu mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan peradaban dan kebanggaan terhadap kebudayaan nasional serta memperkokoh persatuan dan persahabatan antar bangsa," kata Kepala Bidang Bimbingan dan Publikasi Musem Nasional, Dedah R Sri Handari, di Jakarta, Kamis.

Keberadaan Museum Nasional atau Museum Gajah diawali dengan berdirinya lembaga "Bataviaasch Genootschap Van Kunstenen Watenschappen" pada 24 April 1778 yang didirikan oleh ilmuan Belanda yaitu J. C. M Radermacher. Dedah menjelaskan, mengingat pentingnya museum ini bagi bangsa Indonesia maka pada 17 september 1962 lembaga kebudayaan indonesia secara resmi menyerahkan pengelolaan museum kepada pemerintah Indonesia yang kemudian menjadi museum pusat.

Mengenai hal tersebut, berdasarkan surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Museum Pusat ditingkatkan statusnya menjadi Museum Nasional. Museum Gajah ini memiliki fungsi sebagai pusat informasi khasanah budaya bangsa Indonesia yang bersifat edukatif kultural juga menyebarluaskan informasi kepada masyarakat baik melalui pameran, penerbitan buku atau brosur dan program kegiatan umum. "Dalam mengadakan suatu kegiatan, museum ini selalu mengupayakan pendekatan yang bersifat adaptif dan dapat diterima sesuai dengan tingkatan masyarakat," katanya.

Museum ini selain disebut sebagai Museum Gajah juga dikenal penduduk Jakarta sebagai Gedung Arca karena di dalam gedung itu tersimpan berbagai jenis arca yang berasal dari berbagai periode yang terdiri dari koleksi prasejarah arkeolog numistik dan heraldik, keramik, etnografi, sejarah dan geografi. Berhubungan dengan hal tersebut, museum ini memiliki tugas melaksanakan pengumpulan, perawatan, pengawetan, penelitian, penyajian, penerbitan hasil penelitian dan memberikan bimbingan edukatif kultural mengenai benda-benda bernilai sejarah, budaya dan ilmiah bersifat nasional.


Baca Selengkapnya......

Sejarah Banyuwangi

Sejarah Banyuwangi tidak lepas dari sejarah Kerajaan Blambangan. Pada pertengahan abad ke-17, Banyuwangi merupakan bagian dari Kerajaan Blambangan yang dipimpin oleh Pangeran Tawang Alun. Pada masa ini secara administratif VOC menganggap blambangan sebagai wilayah kekuasannya, atas dasar penyerahan kekuasaan jawa bagian timur (termasuk blambangan) oleh Pakubuwono II kepada VOC. Namun VOC tidak pernah benar-benar menancapkan kekuasaanya sampai pada akhir abad 17, ketika pemerintah Inggris menjalin hubungan dagang dengan Kerajaan Blambangan. Daerah yang sekarang dikenal sebagai komplek Inggrisan adalah tempat dimana pemerintah inggris mendirikan kantor dagangnya.

VOC segera bergerak untuk mengamankan kekuasaanya atas Blambangan pada akhir abad 17. Hal ini menyulit perang besar selama 5 tahun (1767-1772). Dalam peperangan itu terdapat satu pertempuran dahsyat yang disebut Puputan Bayu sebagai merupakan usaha terakhir Kerajaan Blambangan untuk melepaskan diri dari belenggu VOC. Pertempuran Puputan Bayu terjadi pada tanggal 18 Desember 1771 yang akhirnya ditetapkan sebagai hari jadi Banyuwangi. Namun pada akhirnya VOC lah yang memperoleh kemenangan dengan diangkatnya R. Wiroguno I (Mas Alit) sebagai bupati Banyuwangi pertama dan tanda runtuhnya kerajaan Blambangan.

Musik khas Banyuwangi

Gamelan Banyuwangi khususnya yang dipakai dalam tari Gandrung memiliki kekhasan dengan adanya kedua biola, yang salah satunya dijadikan sebagai pantus atau pemimpin lagu. Menurut sejarahnya, pada sekitar abad ke-19, seorang Eropa menyaksikan pertunjukan Seblang (atau Gandrung) yang diiringi dengan suling. Kemudian orang tersebut mencoba menyelaraskannya dengan biola yang dia bawa waktu itu, pada saat dia mainkan lagu-lagu Seblang tadi dengan biola, orang-orang sekitar terpesona dengan irama menyayat yang dihasilkan biola tersebut. Sejak itu, biola mulai menggeser suling karena dapat menghasilkan nada-nada tinggi yang tidak mungkin dikeluarkan oleh suling.

Selain itu, gamelan ini juga menggunakan "kluncing" (triangle), yakni alat musik berbentuk segitiga yang dibuat dari kawat besi tebal, dan dibunyikan dengan alat pemukul dari bahan yang sama.

Kemudian terdapat "kendhang" yang jumlahnya bisa satu atau dua. Kendhang yang dipakai di Banyuwangi hampir serupa dengan kendhang yang dipakai dalam gamelan Sunda maupun Bali. Fungsinya adalah menjadi komando dalam musik, dan sekaligus memberi efek musical di semua sisi.

Alat berikutnya adalah "kethuk". Terbuat dari besi, berjumlah dua buah dan dibuat berbeda ukuran sesuai dengan larasannya. "Kethuk estri" (feminine) adalah yang besar, atau dalam gamelan Jawa disebut Slendro. Sedangkan "kethuk jaler" (maskulin) dilaras lebih tinggi satu kempyung (kwint). Fungsi kethuk disini bukan sekedar sebagai instrumen ‘penguat atau penjaga irama’ seperti halnya pada gamelan Jawa, namun tergabung dengan kluncing untuk mengikuti pola tabuhan kendang.

Sedangkan "kempul" atau gong, dalam gamelan Banyuwangi (khususnya Gandrung) hanya terdiri dari satu instrumen gong besi. Kadang juga diselingi dengan "saron bali" dan "angklung".

Selain Gamelan untuk Gandrung ini, gamelan yang dipakai untuk pertunjukan Angklung Caruk agar berbeda dengan Gandrung, karena ada tambahan angklung bambu yang dilaras sesuai tinggi nadanya. Untuk patrol, semua alat musiknya terbuat dari bambu. Bahkan untuk pertunjukan Janger, digunakan gamelan Bali, dan Rengganis gamelan Jawa lengkap. Sedang khusus kesenian Hadrah Kunthulan, digunakan rebana, beduk, kendhang, biola dan kadang bonang (atau dalam gamelan Bali disebut Reong).

Modernisasipun tidak terelakkan dalam seni musik Banyuwangi, muncul berbagai varian musik yang merupakan paduan tradisional dan modern, seperti Kunthulan Kreasi, Gandrung Kreasi, Kendhang Kempul Kreasi dan Janger Campursari yang memasukkan unsure elekton kedalam musiknya, dan menjadi kesenian popular di kalangan masyarakat. Namun demikian, sebagian pakar kebudayaan mengkhawatirkan seni kreasi ini akan menggeser kesenian klasik yang sudah berkembang selama berratus-ratus tahun.

Kesenian tradisional Banyuwangi

Kesenian tradisional khas Banyuwangi antara lain :

Jenis kesenian tadi merupakan sebagian dari kesenian khas Banyuwangi yang masih hidup dan berkembang di kalangan masyarakat setempat.

Pesan Dan Kesan


Free chat widget @ ShoutMix
 
Trik-Tips Blog